By Fitria Sawardi
“Ibu, boleh ya aku mengahfal al Quran?” Tanya anak kecil kelas dua Sekolah Dasar. Hasan. Begitu teman-teman kelas memanggilnya.
Ibunya hanya diam, belum bisa memberi jawaban. Sebenarnya ini sudah ketiga kalinya Hasan meminta pada Ibunya. Kebingungan itu akhirnya melanda pikiran ibunya, menciptakan kegalauan yang sangat. Bukan berarti Ibunya tidak mau mengizinkan anak tercinta untuk menghafal al Quran. Tapi tepatnya, dia berfikir, bagaimana dengan tetangganya. Lingkungan tidak mendukung. Mayoritas di kampungnya adalah orang awam, yang tidak begitu mengerti tentang agama.
“Ibu, Bagaimana?” Hasan menyadarkan Ibunya yang sedari tadi berfiikir keras untuk mencari jawaban.
“Mandi dulu, Nak. Segera ganti baju kemudian makan siang!” Hasan yang masih memakai seragam sekolah, beranjak ke kamar. Ibunya lebih punya alasan untuk menunda pertanyaan anak itu.
Andai suamiku masih bersanding menemaniku untuk menempuh perjalanan panjang dalam rumah tangga ini, sudah pasti aku akan memusyawarahkan kepadanya, untuk mendapatkan jawaban dari pertanyaan anakku, tapi dia lebih dulu meninggalkanku, memenuhi panggilanNya. Semoga dia senantiasa diberikan kenikmatan disana.
Kira-kira begitu yang ada dalam pikiran Ibu itu setelah Hasan beranjak ke kamar. Dia benar-benar tidak tahu, jawaban apa yang akan muncul setelah anaknya bertanya lagi. Sedangkan para tetangganya menganggap bahwa hafalan itu akan mendatangkan musibah. Itu menjadi kepercayaan yang paten memang. Orang-orang kampung itu beranggapan, jika ada salah satu diantara mereka yang mencoba menghafal al Quran, maka salah satu dari anggota keluarga atau tetangga kampungnya akan meninggal. Entah itu mitos darimana, yang jelas mereka sudah mempunyai keyakinan seperti itu.
“Ibu, apa aku boleh menghafal al Quran?” Tanya Hasan lagi, usai makan siang.
“Ibu janji, akan jawab pertanyaan itu setelah kamu selesai ujian minggu depan, Nak. Sekarang kamu belajar yang rajin, ya!” Ibunya memilih menunda lagi.
“Iya, Bu” Hasan mencium tangan Ibunya, kemudian menuju kamar untuk belajar, mempersiapkan ujian. Ibunya menghela nafas panjang, sembari melihat sisa-sisa punggung anaknya menuju kamar.
Entah kenapa Ibunya berani mengucapkan janji dengan mudah, satu minggu lagi dia akan memberikan jawaban. Sedangkan masyarakat kampung tidak akan mungkin setuju jika salah satu anggota kampungnya membuka jendela petaka. Iya, dengan hafal al Quran itu. Andaikan Ibunya melarang untuk mengahfalkan al Quran, bagaiman jadinya? Pasti Hasan akan sangat kecewa, menunggu-nunggu kepastian yang sengaja diundur, kemudian yang dia dapatkan adalah kekecewaan. Sungguh kebingungan telah menguasai dunia berpikirnya. Ibu yang memiliki hidung mancung itu sesungguhnya tidak ingin menyakiti anak kesayangannya tapi juga tidak ingin dicemooh dan dikutuk masyarakat kampung.
Satu minggu berlalu, itu berarti perempuan itu harus siap dengan jawaban. Apapun konsekuensinya.
“Nak, sebelum Ibu menjawab pertanyaanmu, kenapa kamu ingin menghafal al Quran?” Tanya Ibunya saat sarapan pagi.
“Aku cinta Allah, Bu. Aku juga ingin mengaji untuk bapak yang jauh disana.” Hasan menjawab dengan polos, matanya berkaca-kaca. Sementara Ibunya menangis haru, dari mana anak itu mendapatkan kata-kata seperti itu, siapa yang mengajarinya?
“Bagaimana nanti kalau kamu tidak kuat mengahfal?” Ibunya masih mengejar degan pertanyaan baru.
“Aku akan semangat menghafal,Ibu.” Jawabnya antusias, sambil mengelap ingus dengan lengan kirinya.
Ibunya diam sejenak, seperti memikirkan sesuatu. Masih tidak mengerti dengan pemikiran Hasan yang masih seumur jagung itu.
“Bagaimana, Bu?” Hasan masih menunggu jawaban.
Sunyi.
“Iya, kamu boleh hafalan. Ibu mengizinkan.” Saking senangnya, Hasan sontak meraih pipi Ibunya, kemudian diciumnya. Sisa ingusnya menempel di pipi Ibunya.
“Terima kasih, Bu.” Hasan kegirangan dan mencium Ibunya beberapa kali.
***
Benar apa yang dikhawatirkan perempuan itu, masyarakat kampungnya tidak setuju dengan hafalan Hasan. Mereka mulai membencinya, menganggap Hasan mengundang malapetaka. Mereka mulai mengeluarkan kata-kata tidak sopan bahkan sebagian dari mereka ingin Hasan diusir jika masih tetap melanggar aturan.
“Aku tidak akan berhenti untuk menghafal, Bu.” Tekad Hasan, menguatkan Ibunya.
Ibunya masih berfikir keras. Harus bisa memilih diantara dua hal yang sulit , agar masalah ini segera terselesaikan.
Tiga malam berturut-turut, perempuan beranak satu itu berfikir keras dan saat itu pula dia didatangi seorang dalam mimpinya. Dalam mimpi itu, seseorang itu memberi isyarat kepadanya untuk pergi ke suatu desa. Dipenuhilah isyarat dalam mimpi itu. Esok pagi, perempuan itu dengan anaknya mencari-cari desa tersebut. Perjalanan itu memakan waktu 2 hari satu malam,
Memasuki desa, mereka bertemu dengan salah satu penjual sayur. Perempuan itu menjelaskan maksud kedatangan ke desa asing tersebut. Setelah bercerita banyak, dia menitipkan anaknya untuk dirawat di kampungnya. Hanya sedikit bekal yang dapat diberikan pada penjual sayur itu, perempuan itu rela anaknya dipekerjakan asalkan diberi kesempatan untuk tetap menghafal al Quran.
Dengan senang hati, penjual sayur yang ramah itu menerima kedatangan anak yang menggemaskan. Kebetulan sekali, dia hidup sendirian setelah sekian lama ditinggal suaminya ke Rahmatullah. Dia sangat siap memberikan perlindungan kepada Hasan. Dengan kasih sayangnya. Layaknya anak sendiri.
Setelah berbincang lama, Ibunya undur diri untuk kembali ke kampung halaman. Jangan ditanya, dia ingin sekali bisa menemani anaknya di kampung barunya, tapi dia sudah berjanji pada alam untuk tidak meninggalkan kampung halaman sampai ajal menjemput. Dengan terpaksa, dia kembali dengan perasaan sedih karena berpisah dengan anak semata wayangnya.
Penjual sayur itu memperlakukan Hasan dengan baik, sebagaimana anak sendiri. Hasan dimasukkan ke sekolah Tahfidz di pondok dekat rumahnya, jadi bisa kapan saja Hasan pulang ke rumah penjual sayur itu asalkan tidak di waktu setoran hafalan.
Beberapa tahun berlalu.
Hasan sudah remaja, dia tumbuh menjadi anak cerdas, badannya gagah perkasa. Genap sudah hafalannya. 30 juz. Berbagai rintangan sudah dia lewati selama menghafal al Quran. Dia juga menjadi anak kepercayaan kyainya.
Hari ini juga, Sang kyai memerintahakan agar Hasan kembali ke kampung halaman. Kembali pada Ibu yang selama ini merawat tanpa pamrih. Dengan penuh kenangan, dia menuruti perintah kyainya. Pamit kepada Ibu angkatnya_penjual sayur. Dengan berat hati dia melepaskan Hasan.
Sampai di desa.
Hasan mendapati Ibunya berbaring di kamar. Rambutnya sudah memutih, wajahnya keriput.
“Ibu sakit?” Hasan mencium tangan Ibunya kemudian menyentuh dahinya dengan punggung tangan sebelah kanan.
Senyuman manis mengembang indah di pipi Ibunya, kelihatan sekali dia sangat bahagia melihat buah hatinya kembali, dengan badan yang gagah perkasa. Seperti ada semangat baru yang tumbuh dari tubuh Ibunya. Rasa sakit tidak terasa.
Hasan menemani Ibu disampingnya sambil mengaji dengan ayat-ayat yang sudah dihafal dengan lancar. Ibu yang menyaksikannya, menagis haru. Dan meminta agar Hasan memeluknya erat.
Setelah lama Hasan berpelukan, Ibunya memrintahkan kepda Hasan untuk menjenguk Pak Hilmi yang dulu tidak setuju dengan hafalan Hasan sekaligus menjadi pelopor perihal diusirnya Hasan dari kampung. Tidak berani menjenguk, takut dicuekin dan dimarahin bahkan dicampakkan, tapi Ibunya meyakinkan Hasan.
“Jenguklah, beliau sedang sakit!” Ibunya bicara serak, meminta Hasan penuh harap/
Hasan mengangguk, mengiyakan perintah Ibunya meski takut dengan kondisi dan konsekuensi.
***
Berkerumunan orang mengelilingi Pak Hilmi, dia tidak sadarkan diri. Matanya tidak mau bergerak sedikit pun. Tubuhnya setengah kaku. Sementara Istrinya menangis, memanggil nama pak Hilmi, berusaha menyadarkan. Kedatangan Hasan tidak dianggap. Bahkan ada yang menatap sinis. Mungkin dalam hatinya berkata “dasar, anak pembawa sial”. Tapi kondisi Pak Hilmi lah yang membuat susasana tidak ribut. Mereka lebih memilih untuk mendiamkan aku, membiarkan aku mendekati Pak Hilmi.
Hasan menyentuh badan Pak Hilmi yang dingin. Membisikkan salah satu ayat al Quran ke telinga kanannya. Pak Hilmi membuka mata, melotot kemudian berontak dan menjerit dengan kencang.
“Jauhi Suamiku, anak sial!” Wanita itu sontak marah. Sementara para tetangga memegangi Pak Hilmi yang mulai mengamuk.
“Bu Hesti, Biarkan aku membisikkan sesuatu di telinganya. Dia bukan Pak Hilmi, tubuhnya dirasuki Iblis. Lihatlah! Dia sama sekali tidak mengenalimu.” Hasan ahirnya bersuara. Hasan yang dewasa, sudah berani berasumsi. Beda dengan Hasan yang dulu. Pendiam.
“Pergi kamu, Pecundang!” Bu Hesti semakin merah wajahnya.
“Biarkan, biarkan dia membisikkan ayat al Quran di telinganya! Mungkin saja sembuh.” Pak Yanto selaku Kepala Desa, memberi kesempatan kepada Hasan. Bu Hesti ahirnya luluh pada Pak Yanto.
Setelah dipersilahkan, Hasan memperdengarkan ayat al Quran yang dihafalnya ke telinga Pak Hilmi. Tubuhnya semakin berontak mendengarkan ayat-ayat itu. Satu menit berlalu, tubuh Pak Hilmi lemas. Tatapan matanya yang kosong berubah menjadi tatapan sadar. “Ada apa ini, Hesti?” Tanya Pak Hilmi kebingungan. Sementara yang ditanya menangis, merasa bersalah pada Hasan. Dan para tetangga pun sahut-sahutan menangis.
“Hasan, kami minta maaf.” Suara itu keluar dari mulut warga secara bersamaan.
Fitria Sawardi pemilik nama asli Fitria
Pengurus HTQ 2013-2014 UIN Malang
Bisa dihubungi melaui FB: Fitria Sawardi
atau e-mail: Fitriasawardi@gmail.com