Masa muda adalah kesempatan terbesar untuk mencari jati diri, untuk mencari apa yang memang akan menjadi masa depan nanti. Mari berbicara generasi muda, pada masa ini biasanya dihiasi oleh perasaan bimbang dan bingung. “Apa yang harus saya cari? Apa yang harus saya dapatkan? Kerjakan? Apa yang harus difokuskan? Apa yang harus saya dahulukan antara ini dengan itu?” Begitulah kira-kira untuk menggambarkan kebimbangan dan kebingungan jiwa muda ketika mencari jati dirinya.
Penulis sendiri adalah jiwa muda, penulis juga sering tertimpa pertanyaan-pertanyaan semacam itu, tapi suatu ketika penulis sadar, hal semacam itu (bimbang dan bingung) adalah hal yang wajar dalam jiwa muda, bahkan penulis berpendapat kalau ada jiwa muda tidak pernah merasakan kebimbangan dan kebingungan, dia bukanlah jiwa muda yang sejati, karena memang ini adalah sebuah habit (kebiasaan) dari semua jiwa muda, jadi kalau tidak ya aberrant habitation (penyimpangan kebiasaan) namanya.
Untuk masalah ini, kita tidak usah mengambil sikap kaku. Kita dituntut untuk bersikap lues dan berpikir kreatif, bagaimana menyelesaikan kebimbangan dan kebingungan. Kita dituntut untuk memutuskan sendiri bagaimana langkah yang akan kita ambil ke depan.
Untuk itu, penulis mempunyai usulan untuk menyelesaikan masalah ini, sebagai sesama jiwa muda ingin rasanya ikut berbagi. Tapi, bukan penulis pas ingin menggurui, bukan. Hanya saja, penulis berhasrat untuk berbagi atas apa yang penulis alami, siapa tahu bermanfaat. Tapi juga, bukan penulis pas ingin dirujuki, bukan seperti itu. Lagian di depan nama penulis juga tidak ada embel-embel ‘Dr.’ kok. Jadi hal semacam itu bukanlah tujuan penulis. Anggaplah tulisan ini, sepucuk surat dari teman kepada temannya yang sedang gelisah dan meminta pendapat untuk menyelesaikan gelisahnya itu. Sekali lagi penulis hanya ingin berbagi.
Penulis, mempunyai dua hal dalam menyelesaikan kebingungan dan kebimbangan. Pertama, yaitu kita harus menghindari dilema diri. Jadi kita harus menegaskan untuk diri sendiri atas apa yang akan kita pijaki, dengan sudah melihat kondisi diri dan kemampuan yang dimiliki. Kedua, yaitu kita harus melebihi bintang-bintang. Maksudnya apa? Begini, kita tidak harus berambisi untuk sama dengan idola kita, tapi kita harus berambisi untuk melebihi idola kita itu. Nah, untuk lebih jelasnya mari kita sama-sama ikuti ulasan singkat penulis di bawah ini.
Hindari dilema
Jiwa muda biasanya mempunyai hasrat dan ambisi yang tinggi, sehingga segala bidang ingin kiranya dikuasai, segala ilmu pasti ingin dirangkul semuanya, sehingga tambah membuatnya bingung mana yang memang benar-benar akan menjadi jati dirinya. Nah, sikap seperti itu sebenarnya bagus, tapi akan menjadi kurang bagus jika berlarut-larut. Kita memang seharusnya mempunyai semangat tinggi dalam pencapaian ilmu, semua ilmu bahkan. Tapi, yang perlu digaris bawahi adalah jalan penyaluran semangat tadi, di situ kita dituntut untuk berpintar-pintar menempatkan semangat, jangan sampai semangat tadi kacau gara-gara konsep belajar kita yang kocar-kacir.
Nah, kekocar-kaciran inilah yang kemudian penulis maksudkan sebagai dilema. Kondisi kita memang semangat, tapi kocar-kacir, tidak tertata dengan rapi, keinginan kita amburadul, suatu waktu ingin ini, kemudian belum selesai seutuhnya pindah ke keinginan yang lain, pindah lagi, kemudian pindah lagi, sampai akhirnya kita malah kewalahan mengatur diri dalam penguasaan suatu ilmu. Kemudian kejadian dilema ini berlarut-larut dan tidak cepat terselesaikan, maka inilah yang penulis maksud di atas dengan katagori ‘kurang baik’.
Bagaimana cara menangani dilema ini? Sebenarnya dilema tadi pertama kali timbul karena saking tingginya hasrat dan ambisi jiwa muda untuk menguasai semua ilmu, kemudian juga karena didukung dengan kesalahan kita dalam penyaluran semangat kita tadi. Dalam kitab ta’limul muta’allim diungkapkan bahwasanya orang yang mendapatkan satu ilmu, pasti ilmu-ilmu yang lain akan ikut pula. Maksudnya apa? Begini, dengan kita mempunyai satu ilmu saja dan ilmu tadi sudah menjadi jati diri kita, insya-Allah kita akan mendapatkan ilmu yang lainnya juga. Kesimpulan dari isi kitab ta’limul-muta’allim di atas, kita dikomando untuk memfokuskan diri dalam penguasaan ilmu, kita juga dikomando agar berkonsentrasi dalam penguasaan satu ilmu secara utuh dahulu. Kemudian setelah itu, setelah menguasai secara utuh suatu ilmu, baru kita boleh pindah ke ilmu yang lain. Agar tidak mengocar-kacirkan semangat kita tadi. Memang hal itu butuh waktu yang lama, tapi seperti itulah jalan yang sepertinya lebih baik dari pada kocar-kacir.
Jadi kita harus bergegas untuk memfokuskan apa yang akan kita dalami dahulu, satu saja dulu, tapi dengan garis bawah satu ilu tadi bisa terjamin, dengan artian kita sudah benar-benar yakin kalau seandainya nanti kita tidak bisa mencari ilmu lagi, satu ilmu inilah yang akan menjadi andalan kita menjalani kehidupan.
Jadi, jangan sampai kita larut terlalu jauh dengan dilema yang mengombang-ambing kita. Mengalami dilema atau bingung itu memang wajar, tapi kalau sampai berkelanjutan, itu malah akan membius kita untuk tidak mempunyai jati diri sama sekali. Jadi sebelum dilema tadi menggigit kita sampai pada titik infeksi marilah kita tentukan jalan yang paling cocok sebagai jati diri kita.
Tapi harus diingat, pilihan yang akan kita pilih bukanlah sembarang pilihan, jadi kita harus tahu dan mengerti tentang hal-hal yang patut dan cocok untuk kita tempati. Perbanyaklah pertimbangan dan konsultasi bagaimana kita harus menempatkan diri kita. Sebenarnya ada solusi yang cukup bagus untuk menentukan pilihan. Mario Teguh pernah berkata, ya meskipun perkataan ini tidak ada hubungannya dengan dilema ini, tapi penulis rasa perkataan ini cukup bagus untuk kita jadikan solusi, “kerjakanlah hal yang baik lagi membaikkan,” begitu perkataannya. Kalau kita sambungkan dengan dilema masalah kita di sini, harusnya kita memilih hal yang terbaik untuk diri kita, dan juga dari pilihan yang terbaik tadi bisa membawa kita pada kebaikan. Jadi pilihan tadi tidak hanya sekedar baik, melainkan juga membaikkan alias membawa kita pada kebaikan di masa mendatang.
Jadilah bintang yang menyinari bintang-bintang
Tentunya setelah kita berhasil memilih dan menentukan pilihan kita tadi, pasti kita mempunyai idola. Misalkan kita sudah memilih untuk menulis puisi tentunya idola kita tidak lepas dari para sastrawan. Nah, terkadang kebanyakan jiwa muda seperti kita ini ingin rasanya untuk menjadi sama persis dengan idola kita tadi. Tindakan dan keinginan seperti itu sebenarnya kurang baik. Kita boleh mempunyai idola dan ingin seperti mereka, asalkan idola tadi hanya sebagai tolak ukur bagi kita. Dan janganlah kita pernah berniat untuk sama persis dengan mereka, harusnya kita berniat untuk melebihi mereka.
Kita kagum kepada idola kita, dari kekaguman tadi janganlah kita hanya sebatas berniat untuk sama persis seperti mereka, nantinya kita malah dijelek-jelekkan karena terkesan meniru, harusnya kita berniat dan malah berhasrat dan berambisi untuk menjadikan para idola kita tadi membalas kekaguman kita, dengan berbalik merasa terkagum-kagum kepada kita. Jadi buatlah orang yang kita kagumi (idola) terkagum-kagum kepada kita.
Ibarat kita melihat bintang, janganlah kita hanya sebatas berniat untuk menjadi sama persis dengan bintang-bintang yang kita lihat itu. Tapi berhasratlah dan berambisilah untuk menjadi bintang yang menyinari bintang-bintang yang biasa kita lihat tadi.
Oleh : Moh. Zayyadi
Mahasiswa Jurusan PBA asal Sumenep Madura.