Qur’an tanpa Batas, untuk Santri Disabilitas

Oleh: Ud’Hiyata Zahbi

            Pagi itu, Sabtu 25 April 2023 aku bersama tim menuju Islamic Blind and Dead Disability Center, Masjid Madinah, Malang. Dengan mengendarai motor, kami siap membelah kemacetan kota apel ini untuk bertemu seseorang. Meneguhkan hati untuk melihat betapa tangguhnya mereka.

            Sesampainya di sana, suguhan luar biasa kami dapatkan. Dengan panas terik yang menyengat, ditengah usaha menahan lapar dan dahaga, beberapa anak di sebuah ruangan yang cukup luas sedang memperhatikan para pengajar di depan mereka dengan seksama.

            Akhirnya, kami bersanding juga dengannya. Namanya Fahira, penyandang disabilitas netra usia 10 tahun. Masih dengan senyuman khasnya, tanpa ragu dia mempersilahkan kami duduk di dekatnya.

Ia menuturkan sebelum di masjid Madinah, Fahira hanya bersekolah di SLB ABD kota Malang. Di tempat tersebut dirinya tidak menghafalkan seperti sekarang, hanya sekedar belajar membaca Al-Qur’an. Padahal, bukan hanya mata pelajaran umum yang melatih keterampilan, kecerdasan, dan kemampuan bersifat duniawi saja yang perlu diajarkan pada anak. Pendidikan agama juga perlu dikenalkan dan diajarkan pada anak sejak dini. Apalagi bagi umat muslim, mempelajari Al-Qur’an merupakan suatu kewajiban. Sebab Al-Qur’an adalah kitab suci bagi mereka.

Di masjid Madinah ini, mereka diajarkan lebih dalam mengenai agamanya. Mereka tak hanya diajarkan membaca tapi juga menghafal. Mulai dari surat-surat pendek, doa sehari-hari, hingga Al-Qur’an. Dengan yakin, pelajar kecil ini juga melantukan doa-doa yang ia hafalkan di sini. Suaranya begitu indah menyentuh hati kami.

“Senang akhirnya ada tempat yang mau menerima saya, bisa belajar lebih dalam tentang Al-Qur’an,” ujarnya.

Memang tak banyak tempat yang menerima penyandang disabilitas untuk belajar Al-Qur’an, hal ini disebabkan minimnya pengajar juga ketidak tersedianya fasilitas yang mumpuni. Hal tersebut juga sesuai dengan yang diungkapkan Ken Kerta, ketua pembina lingkar sosial Indonesia (LINKSOS).

“Penolakan terhadap anak disabilitas di sekolah masih terjadi. Biasanya dengan alasan sekolah belum memiliki sarana prasarana  pendukung yang aksesibel bagi penyandang disabilitas. Alasan lainnya adalah belum ada guru pendamping khusus untuk disabilitas di sekolah tersebut.”,  ungkapnya.

Proses Berdirinya Islamic Blind and Deaf Disability Center Malang

Berawal dari pertemuan ustadz Resya dengan orang tuli 4 tahun yang lalu, saat melaksanakan sholat di sebuah masjid, akhirnya munculah pertanyaan, “dengan diam begitu, apa yang mereka baca saat sholat?”

“Saat saya tanya kenapa tidak membaca apapun? Ternyata, sebab mereka tidak mempelajarinya. Tidak ada yang mengajarkan itu kepada mereka,” tutur Ustadz Resya Taufiqurrahman, pendiri sekaligus pengasuh Islamic Blind and Dead Disability Center Malang saat kami temui di kantornya.

Kenyataan bahwa tidak ada tempat untuk mereka belajar tentang agama Islam menjadi pemicu Ustadz Resya untuk mendirikan tempat belajar bagi anak-anak disabilitas. Keberadaan mereka tentu memiliki hak yang sama dengan orang normal lainnya. Jika diberi kesempatan belajar yang sama, tentu mereka yang sering dianggap sebelah mata juga bisa hidup dan mendapatkan kehidupan sama seperti yang lainnya.

” Tidak ada tempat yang menerima disabilitas, kami membangun tempat agar mereka bisa belajar Al-Qur’an sama seperti yang lainnya“, ujarnya.

Berbagai usaha dilakukan untuk memfasilitasi teman-teman disabilitas untuk belajar kitab suci mereka. Dikarenakan kondisi mereka, sarana belajar yang dibutuhkan juga berbeda dari kebanyakan orang. Salah satunya, keberadaan Al-Qur’an Braille. Jenis ini memang didesain khusus untuk orang-orang disabilitas netra. Ukurannya yang besar dan tulisan yang timbul sehingga perlu kehati-hatian dalam membawa dan memakainya. Harga dari Al-Qur’an Braille ini berbeda drastis dari harga cetakan biasa, hingga 10 kali lipatnya.

Namun, dari kebutuhan sarana belajar yang khusus ini belum ada kontribusi pemerintah untuk membantu memfasilitasi ketersediaannya di IBDDC Malang. Hanya dari sebagian masyarakat dan sukarelawan yang datang biasanya memberikan donasi untuk membantu memenuhi kebutuhan santri di sini.

“Kalau kontribusi pemerintah belum ada, biasanya dari masyarakat yang datang bertamu,” tutur ustadz Resya.

Anugerah yang Luar Biasa

Keberadaan IBDDC Malang sudah sangat membantu teman-teman disabilitas untuk belajar Al-Qur’an. Namun, pertemuan mereka terbatas seminggu sekali pada hari Sabtu saja. Intensitas pertemuan yang banyak seperti pondok pesantren untuk belajar mengaji, bisa menginap di sebuah bangunan pada umumnya, tentu mereka inginkan.

“Harapannya, mudah-mudahan ada pondok pesantren yang bisa khusus untuk anak-anak berkebutuhan khusus. Di Malang belum ada pondok yang seperti ini,” ucap Pipit wali santri disabilitas rungu wicara.

Selain belajar Al-Qur’an, pelajaran seperti akhlak, hafalan surat pendek juga mereka dapatkan. Setiap hari Sabtu, settelah kegiatan mengaji, di tempat ini rutin mengadakan makan bersama untuk menjalin ukhuwah antar sesama. Dengan sistem seperti pondok pesantren, mereka yakin bahwa  anak-anak disabilitas ini nantinya bisa belajar ilmu agama secara maksimal.

Mimpi tanpa Batas

            Kembali lagi bersama Fahira. Sembari membetulkan kacamata yang ia kenakan, Fahira masih antusias membersamai kami. Menjelaskan cita-citanya yang amat mulia.

“Fahira pengen jadi ustadzah, jadi harus belajar ngaji. Sekarang sudah hafal 3 juz.”, tuturnya.

Adanya sekolah atau pondok pesantren yang ramah disabilitas memang cukup penting. Ramah disabilitas tak cukup diukur dengan  sekolah memiliki toilet ramah disabilitas, atau memiliki guru pendamping saja. Melainkan bagaimana pemahaman konsep disabilitas oleh menejemen sekolah, misalnya  cara pandang terhadap penyandang disabilitas, apakah berbasis charity, berbasis sosial, atau berbasis HAM.

Ketika pelayanan pendidikan masih menggunakan pendekatan charity, belum bisa dikatakan ramah disabilitas dari sudut pandang sosial maupun HAM.  Penyandang disabilitas dalam sudut pandang charity based kerap kali diperlakukan sebagai obyek penerima bantuan saja, sehingga anak didik tidak optimal mencapai kemandirian.

“Sejak Lingkar Sosial (LINKSOS) berdiri tahun 2014, belum pernah bekerjasama dengan lembaga pendidikan berbasis keagamaan  untuk bidang aksesibilitas pendidikan penyandang disabilitas.”, ucap Ken Kerta

            Bagi penyandang disabilitas seperti Fahira dan teman-temannya, adanya pesantren yang bisa mengajari mereka secara optimal menjadi penting. Di tempat pendidikan umum, masih banyak yang menyamaratakan peserta didiknya. Sehingga fokus pembelajaran diambil dari rata-rata pesertanya. Belum bisa menitikberatkan pada masing-masing individu.

Di depan kami, putri kecil berbaju putih ini tak segan mempraktikkan caranya mengajar, seolah-olah menjadi guru, dan kami berpura-pura jadi muridnya.

“Hari ini kita belajar huruf braille,” ucap Fahira membuka pembelajaran.

            Larut dengan percakapan bersama si putri kecil, kami pun hendak pamit kepadanya. Kami sudah mengantongi semangatnya untuk meraih cita-cita, tak terhalang batasan apapun, bahkan kekurangan yang dimilikinya merupakan anugerah terbesar untuk memicu mimpi-mimpinya yang tanpa batas.

“Sabtu depan ke sini lagi, ya,” pesannya kepada kami sebelum bertolak untuk pulang.

***

Liputan ini menjadi bagian dari program pelatihan dan hibah Story Grant “Anak Muda Ciptakan Ruang Aman Keberagaman di Media” yang dilaksanakan oleh Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK). Terlaksana atas dukungan rakyat Amerika Serikat melalui USAID. Isinya adalah tanggung jawab SEJUK dan tidak mencerminkan pandangan Internews, USAID, atau pemerintah AS.